Perjalanan Hidup,Kata Penyemangat Hidup! - Hidup ibarat sebuah
perjalanan,dan perjalanan hidup yang penuh lika-liku. Terkadang jalan
yang kita tempuh mulus tanpa hambatan. Namun tak jarang jalan yang kita
lewati berkelok-kelok, berbatu-batu dan juga terjal. Begitu pula dengan
hidup saya. Saya adalah seorang pemuda dewasa muda yang bergumul dengan
homoseksualitas.
Saya dilahirkan dalam sebuah keluarga yang lengkap dan saya bersyukur
untuk hal itu. Hanya saja keluarga saya memang kurang hangat secara
emosional. Ayah saya adalah seorang pekerja keras. Ia merupakan seorang
wirausahawan yang sangat giat bekerja. Hari-hari dalam hidupnya
dihabiskan untuk bekerja. Tujuh hari dalam seminggu ia menjalankan
usahanya. Ia memang termasuk pria yang bertanggung jawab terhadap
keluarga. Dan kerja keras yang dilakukan oleh ayah saya dilakukan untuk
memastikan tercukupinya kebutuhan keluarga kami. Maksud baiknya ini
ternyata tidak selalu berdampak baik terhadap saya. Tanpa disadari
kesibukannya di dalam pekerjaan membuat saya jarang berinteraksi
dengannya. Seingat saya dari kecil sampai sekarang kami sangat jarang
bermain bersama. Atau sekedar melakukan aktivitas bersama layaknya ayah
dan anak pada umumnya. Selain itu ia juga sangat jarang secara verbal
untuk menyatakan rasa sayang kepada saya atau sekedar memberikan nasihat
dan dukungan ketika saya membutuhkannya. Misalnya, ketika tiba waktunya
pengambilan raport caturwulan saat SD dulu, ia seringkali terlambat
mengambil raport saya atau bahkan tidak datang sama sekali karena
terlalu sibuk bekerja.
Berbeda dengan ayah saya yang agak pasif, ibu saya justru tergolong
orang yang dominan dan cenderung protektif. Saya memang cukup dekat
dengan ibu saya. Sebagian besar dukungan dan perhatian saya dapatkan
darinya. Hanya saja sikapnya terkadang agak berlebihan. Misalnya saat
kecil dulu, saya dilarang untuk terlalu banyak bergaul dengan
orang-orang yang berada di luar lingkungan keluarga saya. Terutama
orang-orang yang tidak satu suku dengan saya. Ibu saya khwatir kalau
saya nanti akan terpengaruh oleh hal-hal buruk yang dimiliki oleh
orang-orang tersebut. Hal ini membuat saya agak terisolasi dari dunia di
luar saya, terutama dunia laki-laki.
Saya sendiri tidak memiliki kakak laki-laki atau figur laki-laki yang
bisa saya contoh ketika masih kecil dulu. Saya justru dianugerahi dua
orang kakak perempuan, mereka berdua cukup dekat dengan saya. Walaupun
ketika masih kecil dulu mereka suka iseng terhadap saya. Hanya saja
isengnya kadang kelewatan. Misalkan saja, mereka suka memakaikan pakaian
perempuan kepada saya. Selain itu mereka juga suka mendandani saya
layaknya seperti seorang perempuan. Tak jarang saya bermain
masak-masakan dan boneka-bonekaan bersama mereka. Namun sangat
disayangkan orang tua kami sangat jarang menegur saya ataupun kakak saya
ketika hal itu terjadi.
Disadari atau tidak, latar belakang keluarga saya inilah yang membuat
perasaan ketertarikan terhadap sesama jenis itu muncul. Saya merasakan
adanya kebutuhan akan figur yang dapat melindungi, mengayomi, memimpin
dan juga mengarahkan saya. Namun sangat disayangkan, kebutuhan tersebut
tidak terpenuhi di dalam kehidupan saya.
Ayah saya yang seharusnya memberikan contoh pertama bagaimana menjadi
seorang laki-laki sejati, tidak melakukannya dengan baik. Keabsenan
figur itu ditambah lagi dengan perlakuan ibu saya yang secara tidak
langsung menutup jalur saya untuk berinteraksi dan bergaul dengan dunia
luar, khususnya dunia laki-laki. Tidak hanya sampai disitu, perlakuan
kedua kakak perempuan saya membuat saya semakin mengalami kebingungan
gender. Hal ini tentunya sangat tidak baik untuk perkembangan identitas
diri seorang anak. Kebingungan…mungkin itulah kata yang paling tepat
untuk menggambarkan masa tersebut.
Tanpa terasa waktu pun terus berjalan, tahun demi tahun terlewati… dan
saya pun mulai tumbuh memasuki usia remaja. Kebahagiaan dan konflik
batin terus terjadi dalam diri saya. Di satu sisi, saya tahu tidak ada
satu agamapun yang menyetujui homoseksualitas. Tapi di sisi lain saya
tidak dapat menyingkirkan perasaan tersebut. Semakin saya berusaha
menghilangkan perasaan tersebut, semakin kuat perasaan ketertarikan itu.
Saya sangat bingung, tidak tahu harus cerita ke siapa. Saya malu
mengenai hal yang saya alami. Saya takut - kalau misalnya saya cerita ke
orang lain - mereka akan menghina dan menolak saya.
Saya saja sangat bingung dengan apa yang saya alami, apalagi kalau saya
harus sampai menerima hinaan dan penolakan lagi. Sampai-sampai saya
berpikir masalah ini akan saya simpan sendiri, bahkan sampai mati tidak
akan ada orang yang pernah tahu kecuali saya dan Tuhan. Tangis dan air
mata menghiasi masa-masa itu. Bahkan saya sampai bernegosiasi dengan
Tuhan… “Tuhan, boleh deh bikin gue lebih bodoh atau lebih jelek, asal
gue gak gay, Tuhan. Tuhan gue gak mau punya perasaan ini, gue udah gak
kuat nahannya. Terus buat apa lagi gue hidup…”
Rasa-rasanya air mata saya sudah kering saat itu…setiap malam kerjanya
hanya menangis dan menangis..meratapi nasib dan terjebak dalam sikap
mengasihani diri sendiri. Tidak ada tempat untuk bersandar… tidak ada
tempat untuk berlari. Saya merasa sendiri, saya kesepian… Perasaan
kebingungan dan kesepian mendorong saya untuk mencari tahu apa yang
terjadi dalam diri saya. Kemudian saya pun mulai mencari berbagai
literatur tentang homoseksualitas baik melalui buku, majalah, internet,
dan lain sebagainya.
Selain itu, menyadari bahwa saat itu saya tidak memiliki secara utuh
kualitas-kualitas yang seharusnya dimiliki oleh seorang pria - seperti
sifat pemberani, mampu memimpin, melindungi, dan berinisiatif - maka
saya mulai mencari kualitas-kualitas tersebut dalam diri orang lain yang
tentunya juga sesama pria, yang saya kira memiliki kualitas-kualitas
tersebut - baik mungkin secara fisik, emosional, sosial dan juga
seksual.
Saya juga mulai menonton pornografi, melakukan masturbasi dan juga
melakukan hubungan seks dengan sesama pria. Ketika pertama kali
melakukannya, saya merasa jijik terhadap diri saya sendiri dan saya
merasa sangat berdosa kepada Tuhan. Saya tahu tindakan yang saya lakukan
merupakan dosa di hadapan Tuhan tetapi saya sudah tak dapat menahan
hasrat yang begitu menggebu-gebu di dalam dada saya. Lagi-lagi, mungkin
hanya linangan air mata yang tahu apa yang saya rasakan saat itu. Saya
sangat kecewa dengan diri saya. Saya sedih karena melakukan hal
tersebut, saya sedih karena telah mengecewakan Tuhan. Namun saya tak
berkuasa… Saya bahkan merasa hidup saya tidak berguna lagi. Semua terasa
hitam dan kelam… Seakan-akan tak ada jalan keluar dari semua kemelut
yang saya alami… Semua aktivitas itu ternyata tidak memuaskan kebutuhan
terdalam saya! Ingin rasanya berbalik kepada Tuhan. Tapi mungkinkah..
Mungkinkah Tuhan mau menerimaku kembali?
Sebuah pepatah mengatakan “Habis gelap terbitlah terang”. Pepatah itu
tampaknya memang benar, ternyata tak selamanya langit di hidupku gelap.
Setelah mendung dan turun hujan deras, Tuhan memunculkan pelangi yang
indah di hidupku. Seiring berjalannya waktu, pikiranku mulai dibukakan
oleh Tuhan. Saya mulai dibukakan apa yang salah selama ini. Tampaknya
saya hanya mengandalkan kekuatan diri sendiri selama ini, saya belum
mengandalkan Tuhan sepenuhnya. Hal itu lalu mendorong saya untuk
menjadikan Yesus sebagai Tuhan dan Juru Selamat saya. Selain itu saya
juga memohon pengampunan dari Tuhan dan meminta agar Tuhan mengampuni
dosa-dosa dan kesalahan saya.
Perasaan damai pun mulai muncul dalam hidupku. Pelan-pelan saya mulai
merasa tak kesepian seperti dulu lagi. Tanpa saya sadari saya mulai
berani terbuka mensharingkan apa yang saya alami kepada orang lain.
Ternyata respon yang mereka berikan tidak seburuk yang saya sangka… Ada
yang mampu menerima kondisi saya apa adanya, namun ada juga yang masih
belum bisa menerima kondisi saya apa adanya. Tapi buat saya tidak
apa-apa, saya dapat memahami ketidakmengertian mereka. Singkatnya
manusia mungkin boleh menolak saya tapi yang penting Tuhan tidak menolak
saya.
Kendati demikian tak semuanya berjalan dengan mulus, tetap ada proses
jatuh bangun di dalamnya. Tuhan memang memberikan jaminan akan
keselamatan hidup dan juga pengampunan dosa, akan tetapi perubahan dari
cara hidup yang lama ke cara hidup yang baru tidak semudah membalikkan
telapak tangan. Tetap dibutuhkan waktu dan proses yang panjang, bahkan
terkadang menyakitkan. Saya membutuhkan anugerah, pertolongan dan juga
kekuatan dari Tuhan. Kendati demikian Tuhan juga menginginkan agar saya
memiliki tekad dan kedisiplinan diri jika benar-benar ingin berubah.
Syukur kepada Tuhan, Ia terus menopang saya dengan sabar dan setia.
Melalui pembelajaran akan Firman Tuhan, berdoa, kegiatan persekutuan dan
juga telaah literatur, saya mulai bisa meninggalkan cara hidup saya
yang lama. Kebenaran demi kebenaran pun mulai dibukakan, pola pikir yang
lama diubahkan. Tanpa saya sadari, ternyata ada banyak pihak yang terus
mendukung dan mendoakan saya. Syukur kepada Tuhan, saya mulai dapat
memaafkan kesalahan kedua orang tua dan juga kakak-kakak saya. Saya
merasa lebih damai sejahtera, sayapun jadi tahu bagaimana seharusnya
saya memandangi dan menerima diri saya sendiri. Sekarang saya hidup di
dalam identitas diri yang baru didalam Tuhan.
Lantas bagaimana dengan perasaan ketertarikan sesama jenis itu? Apakah
perasaan ketertarikan itu sirna begitu saja? Ternyata tidak! Perasaan
itu tetap ada. Hanya saja perasaan itu mulai berkurang dan sudah tidak
terlalu mengganggu seperti dulu. Lantas apakah hal ini membuat saya
kecewa? Ternyata tidak. Dia tetap Allah. Dia berdaulat atas segala
sesuatu yang terjadi di dalam hidupku. Maka ketika perasaan ketertarikan
sesama jenis itu muncul, saya tidak mau terjebak oleh bujuk rayu Iblis
yang berusaha membuat saya meragukan kedaulatan, keadilan dan juga
kesetiaan Tuhan. Mata saya harus tetap tertuju kepadaNya. Saya juga
tidak mau terjebak dalam situasi mengasihani diri sendiri. Tuhan tidak
pernah bermain dadu, Dia tidak pernah salah.
http://olxia.blogspot.com/2014/09/perjalanan-hidup-kata-penyemangat-hidup.html